Apakah Anda berbahasa Indonesia?
Malam hari ini aku menyempatkan untuk memeriksa laporan KP dan TA dari beberapa mahasiswa bimbinganku. Setiap kali aku membaca tulisan mahasiswa, aku selalu saja sedih. Yup sedih karena harus melihat realita di mana seseorang yang telah mengenyam pendidikan di tingkat Sarjana Strata 1 pun ternyata masih belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar ketika menuangkan hasil penelitiannya dalam bentuk laporan ilmiah. Beberapa kesalahan yang terus saja terjadi di setiap laporan di antaranya adalah:
1. Membedakan penggunaan kata depan dan awalan.
Ini merupakan kesalahan yang paling sering aku temui. Dalam Bahasa Indoensia terdapat beberapa kata depan seperti "di" dan "ke" yang juga dapat digunakan sebagai awalan. Hanya saja penggunaan "di" dan "ke" sebagai kata depan (preposisi) tidak dapat digabungkan dengan kata berikutnya seperti pada penggunaan "di" dan "ke" sebagai awalan. Penggunaan "di" dan "ke" sebagai kata depan berfungsi sebagai penunjuk keterangan tempat (lokasi) maupun keterangan waktu (temporal). Sebagai contoh: di mana, ke mana, di saat itu, di situasi semacam itu, ke pasar, di restoran. Sedangkan penggunaan "di" dan "ke" sebagai awalan justru harus digabungkan dalam penulisannya. "Di" sebagai awalan digunakan untuk menghasilkan suatu bentuk kalimat pasif. Sebagai contoh: dimakan, dikarenakan, diberi, diarahkan.
Dan penggunaan "ke" sebagai awalan akan menghasilkan suatu keterangan keadaan dan biasa disertai dengan akhiran "an". Sebagai contoh: kenakalan, kekayaan, kesuksesan, kesimpulan.
2. Penggunaan istilah asing.
Dalam sebuah tulisan ilmiah, setiap penggunaan istilah asing harus dituliskan dalam bentuk cetak miring (italic). Dan ini pun menjadi point kesalahan yang tidak sedikit dilakukan oleh mahasiswa.
Kondisi memperihatinkan semacam ini pun harus ditambah lagi dengan kemampuan verbalik mahasiswa yang makin menurun. Tidak mengherankan memang bila fenomena ini terjadi mengingat makin menurunnya juga minat baca pada generasi muda saat ini. Penurunan minat baca tentunya akan berbanding lurus juga dengan penurunan kemampuan verbalik seseorang baik itu kemampuan dalam menuangkan pemikiran secara tertulis maupun kemampuan dalam mencerna dan memahami suatu susunan tulisan tertentu. Sedih rasanhya bila diperhadapkan pada kondisi semacam ini. Penggunaan tata bahasa pun makin lama makin kacau ditambah lagi dengan kesalahan-kesalahan linguistik yang sudah dipandang biasa dalam masyarakat.
Contoh nyata adalah penggunaan kata absensi. Tidak banyak orang ternyata yang cukup peka terhadap penggunaan kata absensi dan cenderung latah untuk menggunakan istilah tersebut dalam setiap pendataan yang berkaitan dengan kehadiran. Bahkan seringkali juga muncul pernyataan seperti, "Apakah kamu sudah absen?" dan "Ayo cepat absen dulu".
Penggunaan istilah "absensi" sudah menjadi rancu dengan istilah "presensi". Padahal absensi merupakan suatu proses pendataan ketidakhadiran seseorang sedangkan presensi merupakan suatu proses pendataan kehadiran seseorang. Lucu rasanya bila seseorang yang menghadiri rapat atau kegiatan apapun juga malah diminta untuk menandatangani lembar data absensi yang nota bene merupakan data ketidakhadiran. Fuihh.... bukankah Bahasa Indonesia masih menjadi bahasa resmi Bangsa Indonesia? Ataukah bangsa ini sudah berganti bahasa?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Boed...
Setuju banget, emang laporan anak2 kt tuh parah2... mgkn karena terbiasa dengan budaya menganggap remeh tulisan... T.T
Tapi kalo soal absensi, memang itu udah mendarah daging. Susah dirubahnya karena faktor kebiasaan, apa mgkn kt rubah aja jadi kalo mereka yang mau absen baru suru isi dan tandatangan di lembar absensi?? Hehehehe
maklum pa itu belum di italic-in 1 1 T__T
lagi buru2 ngejar isi dulu, perbaikan di hari2 terakhir :D
Post a Comment