Setelah mencoba bergelut dengan demam tinggi selama tujuh hari akhirnya aku menyerah juga pada rasa panikku dan memutuskan untuk rawat inap di rumah sakit. Thanks untuk Timo dan Bu Saron yang terpaksa jadi ikut repot mengantar aku ke rumah sakit. I really appreciate it friends. Ternyata prosedur rawat inap di tempatku bekerja lumayan ribet. Pertama-tama aku harus ke poliklinik untuk mendapatkan persetujuan dokter bahwa aku memang harus rawat inap. Untungnya dokter jaga saat itu sangat kooperatif. Ketika aku memintanya untuk merujuk diriku dirawat inap mengingat demamku yang sudah memasuki hari ketujuh beliau langsung menyetujui. Menurutnya pasien memang lebih mengetahui tentang batasan kondisi tubuhnya daripada dokter. Setelah mendapat surat rujukan aku langsung menuju front office poliklinik untuk mendapatkan stempel legalisir. Setelah mendapatkan stempel aku masih harus menuju ruang SDM yang berada di gedung berbeda untuk mendapat persetujuan dari bagian SDM. He3.. memang unik sekali prosedurnya. Sewaktu menjalani prosedur tersebut aku sempat rodo dongkol. Mosok sich orang sudah sempoyongan tapi masih harus diminta puter-puter hanya untuk dapet persetujuan agar layak mendapat jatah rawat inap. Apakah wajah yang pucat pasi masih belum bisa menjamin bahwa seseorang tersebut dalam kondisi semaput dan butuh untuk segera dirawat? Tetapi setelah melewati semua itu aku malah bisa tertawa geli membayangkan pola pikir dari orang-orang yang sudah menyusun sistem semacam ini. Ha3.. sepertinya selain mereka berperan sebagai perancang sistem, mereka juga agaknya berbakat jadi komediwan dan komediwati. Ha3.. nyatanya saat ini mereka bisa membuat aku tertawa geli ketika mencoba mengingat kembali detik-detik sewaktu aku menjalani prosedur yang telah mereka susun :D
Setelah masalah prosedural beres, berikutnya aku langsung diantar oleh Bu Saron menuju RS Imanuel. Timo sudah lebih dahulu sampai di sana dan mencoba meregistrasikan diriku. Tetapi dalam perjalanan ke sana, aku mendapat kabar dari Timo bahwa kamar di RS Imanuel sudah penuh. Dan ketika aku sampai di sana bersama Bu Saron pun kondisinya masih sama. Semua kamar penuh, yup penuh dengan pasien Demam Bedarah. Kalau demikian maka mau tak mau harus mencoba mencari alternatif rumah sakit yang lain. Timo mencoba menghubungi rumah sakit Boromeus dan Advent. Tetapi kedua rumah sakit itu pun penuh dipadati oleh pasien. Memang nampaknya seluruh rumah sakit di seluruh Bandung Raya ini sedang padat mas. Sejak akhir tahun lalu sampai dengan penghujung tahun baru ini memang sedang mewabah penyakit Demam Bedarah. Demikian informasi yang sampat kami dengar dari beberapa staff RS Imanuel. RS Sentosa yang bisa dibilang RS kelas elit pun sempat kami hubungi dan mengalami kondisi yang sama, penuh dengan pasien. Ibu Saron malah menawarkan aku agar dirawat di rumahnya. Tenang ae Bud, adikku khan dokter jadi isa terpantau juga. Demikian ujar Bu Saron. Tetapi aku tetap menolak. Gak kepenak Bu. Aku memang berprinsip agar sebisa mungkin gak mau ngerepotin orang lain. Ini ae aku udah ngerasa gak kepenak gara-gara sudah bikin repot Timo dan Bu Saron. Sembari bingung mencari-cari solusi, akhirnya Bu Saron teringat akan rumah sakit di daerah Kota Baru Parahyangan, Rumah Sakit Cahya Kawaluyan namanya. Akhirnya setelah kami hubungi ternyata masih ada kamar yang tersedia. Lalu langsung saja aku tanya harganya, maklum saja ada ketentuan bahwa biaya inap di rumah sakit yang diijinkan harus setara dengan biaya inap rumah sakit rujukan resmi dari kantorku, yaitu RS Imanuel. Untungnya biaya rawat per harinya sama. Fuiihhh thanks God...
Langsung saja aku dan Bu Saron bergegas menuju rumah sakit tersebut. Hanya saja kali ini Timo tidak turut mengantar karena ternyata ada ujian yang harus diikuti. Thanks a lot bro atas bantuannya. Maaf kalau sampai merepotkan dan menggangu waktu persiapan mengikuti ujian.
Sesampainya di rumah sakit, bagian yang aku benci pun harus kembali aku hadapi. Jarum suntik mau tak mau mulai menghadang. Jarum pertama adalah jarum untuk mengambil sampel darah. Belum selesai rasa sakit dari jarum pertama, jarum kedua pun menyusul. Yup jarum untuk menghubungkan selang cairan infus. Untuk jarum kedua ini aku harus menuju toilet dulu guna sedikit menenangkan diriku. Aaauuuwww.... ini yang bener-bener sakitnya gak ketulungan. Sampe detik ini pun ketika aku mulai menggunakan jari jemariku untuk mengetik kisah ini dalam blog, rasa sakitnya masih terasa.
Demikianlah perjalan panjangku menuju rumah sakit yang nampaknya memang perlu aku dokumentasikan sebagai penggalan kisah hidupku yang bisa dikenang suatu saat nanti :)
Untuk Bu Saron dan Timo, thanks a lot friends for all of your kindness.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment