Beberapa hari terakhir ini amat marak sekali opini-opini yang muncul pada Harian Kompas bertajuk dampak penyiaran acara yang mengekspose sisi kekerasan terhadap meningkatnya angka kriminalitas di Indonesia. Data statistik menunjukkan bahwa kasus-kasus mutilasi yang terjadi ternyata juga diinspirasi oleh kasus-kasus mutilasi yang pernah terjadi sebelumnya dan disiarkan secara gamblang dan detail oleh media televisi. Tidak dapat dipungkiri memang program-program acara bertemakan kejahatan telah menjadi salah satu program acara televisi dengan rating tertinggi. Berita kejahatan sudah menjadi lahan basah yang dipandang layak oleh sebagaian media televisi di Indonesia untuk dijadikan komoditi bisnis tersendiri. Suatu proses kejahatan bahkan digambarkan dengan sangat detail sekali termasuk ditayang pula adegan-adegan reka ulangnya dengan dalih sebagai media pemberitaan mereka berkewajiban untuk menampilkan fakta secara apa adanya. Dalam hal ini mereka tidak memperhatikan apakah dampak yang dapat muncul dari penyampaian fakta tersebut. Suatu fakta itu seperti pedang bermata dua. Bila suatu fakta disajikan kepada penerima yang tepat dan pada waktu yang tepat, maka suatu fakta dapat menghasilkan nilai makna yang sangat positif / konstruktif bagi penerimanya. Tetapi sebaliknya, bila suatu fakta harus disajikan kepada penerima yang tidak tepat atau pada waktu yang tidak tepat, maka suatu fakta malah akan menghasilkan nilai makna yang sangat negatif / destruktif bagi penerimanya. Sebagai contoh, prosesi demo yang intinya adalah penyampaian aspirasi massal kini mulai bergeser maknanya menjadi suatu ajang yang mempertontonkan kemurkaan, kegeraman yang disertai dengan berbagai aksi vandalisme. Masyarakat serasa menjadi latah ketika melakuan suatu aksi demo yang selalu disertai dengan aksi menggoyang-goyang dan merusak pagar pembatas, melempar batu, membakar ban mobil, dan beberapa aksi anarkis lainnya. Perilaku-perilaku tersebut seolah sudah menjadi suatu point-point wajib yang dilakukan setiap kali menggelar suatu aksi demonstrasi.Dalam hal ini seharusnya media televisi menyadari tentang konteks dan kondisi serta situasi dari pemirsa yang mengkonsumsi program acara mereka. Mempertontonkan aksi-aksi kejahatan dan kekerasan kepada masyarakat Indonesia yang saat ini sedang mengalami krisis multi dimensi sangatlah riskan. Msyarakat kita saat ini sedang mengalami krisis tidak hanya krisis ekonomi tetapi juga krisis pendidikan, dan juga krisis sosial kultural. Kondisi semacam ini menjadikan seseorang cenderung gamang. Dan bila dalam kondisi gamang ini mereka dihadirkan tontonan yang sarat dengan pesan-pesan kekerasan dan kejahatan, akan sangat mudah sekali bagi mereka untuk menyerap prosesi kejahatan dan aksi kekerasan itu sebagai wadah pembelajaran. Dan ketika mereka diperhadapkan pada kondisi dan situasi yang lebih kurang mirip dengan apa yang pernah mereka tonton, meraka akan sangat mudah sekali untuk melakukan proses imitasi / peniruan terhadap aksi kejahatan dan kekerasan tersebut.
Dalam hal ini media televisi harus benar-benar memahami peran dan tanggung jawab yang diembannya terhadap dampak yang mungkin dihasilkan dari setiap program acara yang disiarkan. Media massa apapun bentuknya itu seharusya memiliki kesadaran yang penuh akan tanggung jawab moralnya dalam turut mendidik bangsa ini agar bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas dan bermoral.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
Pemikiran mbah sama dengan pemikiran saya meskipun untuk kasus yang berbeda. Kalau dalam kasus yang saya pikirkan dan sayangkan adalah media yang mengeksploitasikan apa yang sedang dilakukan para aparat keamanan untuk mengatasi suatu tindak kejahatan. menurut saya, justru dari info itulah mereka jadi tau setiap gerakan yang ditindak oleh para aparat keamanan. Jadinya, semua orang juga jadi kewalahan dengan hasil perbuatan jahat mereka.ya ya,benar mbah. saya setuju dengan pemikiran mbah.
Post a Comment