Sebuah Perenungan di Kereta

|

Selasa, 26 April 2005

Hari yang melelahkan.

Saat ini aku sedang berada di dalam kereta yang akan membawaku kembali ke Yogyakarta tercinta. Aku memang memutuskan untuk langsung pulang setelah memperolah hasil wawancaraku di AlfaMart. Wah, akhirnya aku ditolak. Aku sendiri memang tidak merasa cocok dengan suasana kantor dan lingkungan kerjanya.

Intermezo sebentar ya, saat ini di depanku duduk seorang pemuda yang sangat angkuh. Dilihat dari jaket yang dikenakannya, aku mengetahui bahwa dia adalah seorang polisi khusus Kereta Api. Saat ini memang sulit untuk membedakan antara pelanggar hukum dan penegak hukum. Keduanya sama-sama memasang tampang sangar dan keduanya gila uang.

Ok, aku sudahi dulu intermezonya agar tidak berkepanjangan.

Rasa-rasanya lingkungan akademiklah yang paling cocok denganku. Bagiku hidup akan sangat membosankan bila setiap hari diisi dengan aktifitas-aktifitas monoton seperti berangkat ke kantor di pagi hari, bekerja di dalam gedung selama 8 jam dan bertemu dengan orang-orang yang sama tiap harinya. Sore hari, sepulang dari kantor langsung mandi dan dilanjutkan mencari makan malam. Di malam hari acara diisi dengan menikmati tontonan yang disuguhkan oleh stasiun-stasiun televisi sampai akhirnya kedua mata ini menjadi cukup berat dan tertidur. Demikian seterusnya rutinitas ini berlangsung satiap harinya.

Tentang kegagalanku di AlfaMart, aku sendiri cukup bingung. Di satu sisi aku merasa kecewa karena setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh dari Yogyakarta ke Jakarta tapi hasil akhir yang diperoleh adalah kegagalan. Tapi sisi lain dari diri ku malah merasa senang. Aku merasa seolah-olah diteguhkan untuk menjadi seorang dosen.

Aku memang tidak bersemangat ketika diwawancarai walaupun psikotest dan test programming dapat aku lalui dengan mulus. Puncaknya ketika aku ditanya tentang salary yang aku inginkan, langsung saja aku sebut jumlah sembarang. Wah ternyata jumlah yang aku ajukan terlalu tinggi bagi seorang fresh graduate di perusahaan tersebut. Ah sudahlah, walaupun dalam proses tawar-menawar akhirnya dicapai suatu angka tertentu, tapi kemungkinan aku sudah dianggap money oriented di mata mereka.

Sebenarnya bagiku salary adalah urusan kesekian, yang terpenting bagiku adalah aku dapat menikmati pekerjaanku. Dan mengajar bagiku adalah suatu kepuasan. Dengan mengajar, aku selalu dituntut untuk belajar dengan cepat dan dituntut pula untuk mampu menyampaikan apa yang telah aku pelajari dalam bentuk yang sesederhana mungkin agar bisa diterima dengan baik dan mudah oleh para peserta didik. Benar-benar suatu pekerjaan yang menantang.

Dengan mengajar, aku pun secara otomatis akan dipertemukan dengan banyak orang dengan karakter dan kepribadian yang beragam pula. Benar-benar suatu kesempatan yang luar biasa untuk dapat melihat warna-warni kehidupan.

2 comments:

Anonymous said...

Enjoyed a lot! » » »

Anonymous said...

What a great site » » »