Selasa, 5 April 2005
Agama sekarang ini bisa menjadi sesuatu yang amat berbahaya jika tidak dikritisi dengan seksama. Agama yang pada awalnya diperuntukkan bagi pendewasaan diri umatnya –termasuk di dalamnya adalah pengendalian diri –malah menjadi salah satu pemicu kericuhan dalam masyarakat yang seringkali berakhir dengan tindakan-tindakan yang sifatnya anarkis.
Menurut pandangan penulis, ini semua tidak lain disebabkan oleh rasa bangga yang berlebihan yang ada dalam diri umat dari masing-masing agama. Para pemeluk agama tersebut merasa bahwa agamanyalah yang paling benar dan agama-agama yang lain adalah salah –bahkan secara ekstrim bisa dikategorikan sebagai ajaran sesat.
Sikap hidup beragama seperti ini tentunya sangatlah tidak kontekstual dengan kondisi masyarakat kita yang kian hari kian heterogen dan plural.
Bahkan kalau dilihat dengan seksama, ternyata dalam tubuh masing-masing agama sendiri muncul dan berkembang berbagai aliran yang berbeda. Misalkan saja Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah dalam agama Islam; atau Calvinis, Injili, dan Karismatik yang terdapat pada agama Kristen.
Menurut penulis, untuk menghadapi situasi demikian sangatlah diperlukan adanya suatu upaya untuk membuka wawasan pada masyarakat, khususnya pada kaum muda –para siswa sekolah –karena merakalah yang nantinya akan menentukan nasib dan arah bangsa kita.
Pemerintah sendiri sudah mencoba mensiasati hal tersebut dengan memasukkan materi kerukanan antar umat beragama dalam kurikulum pendidikan sekolah. Tapi sayangnya sesuatu yang dimasukkan dalam kurikulum resmi pada pelaksanaanya malah terjebak dalam tataran teori yang tidak ada realisasi tindakan yang nyata.
Nah pada kesempatan kali ini penulis mencoba memberikan solusi mengenai bentuk materi pengajaran yang bisa diterapkan di sekolah untuk menunjang kerukunan antar umat beragama.
Alangkah menariknya bila materi tentang kerukunan antar umat beragama dikemas dalam bentuk dialog. Dalam dialog ini masing-masing siswa yang memeluk agama yang berbeda belajar untuk saling berbagi pengalaman tentang kehidupan beragama yang mereka anut. Sebagai contoh siswa yang beragama Hindu bisa berbagi pengalaman mereka ketika merayakan hari raya Galungan atau ketika umat muslim menjalani ibadh sholat tahajut. Dari hasil berbagi pengalaman tersebut tentunya akan muncul sejumlah pertanyaan-pertanyaan terkait dengan ritual maupun makna dari perayaan tersebut yang nantinya akan mengarah pada dialog yang sangat menarik. Kegiatan seperti ini tentunya akan melatih para siswa sekolah sedini mungkin untuk mulai membuka diri terhadap adanya ajaran agama lain di luar dari mereka anut yang nantinya juga akan disusul dengan rasa saling menghargai ajaran-ajaran agama tersebut. Dialog semacam ini akan membuka wawasan siswa bahwa keberadaan agama sendiri adalah sebagai sarana untuk mendewasakan manusia dan meningkatkan kualitas hidup bersama; dan bukannya malah terjebak dalam aksi saling menjelek-jelekan ajaran agama di luar yang mereka anut.
Biarlah kiranya perbedaan yang ada menjadikan hidup kita lebih semarak dan kaya makna. Dan biarlah kiranya damai di bumi benar-benar bisa dirasakan dalam kehidupan antar umat beragama dalam kontenks masyarakat yang majemuk ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment