Menunggu itu Membosankan

|

Senin, 25 April 2005

Benar-benar membosankan.

Setelah mengikuti psikotes, mau tak mau aku harus menunggu di kantor sampai temanku mengakhiri jam kerjanya. Suasana kantor yang dulunya aku persepsikan sebagai sebuah gadung yang dipenuhi oleh para profesional dan eksekutif tiba-tiba saja berubah menjadi bangunan yang yang penuh dengan rutinitas yang membosankan. Tidak ada keceriaan di sini. Yang ada hanyalah orang-orang yang mau tak mau harus bekerja karena bila tidak maka mereka tidak akan beroleh makan.

Sambil menunggu , dari tadi aku mengamati sebuah pintu masuk. Sebuah pintu otomatis bersensor. Orang-orang yang ingin melewatinya tak perlu repot-repot membukanya. Pintu tersebut secara otomatis akan membuka dengan sendirinya bila ada orang yang akan melewatinya.Benar-benar suatu karya yang kreatif walau harus sedikit menanggalkan sisi sentuhan manusianya.

Aku sempat membayangkan, andai saja pintu masuk itu bukan sebuah pintu otomatis dan di kedua sisi pintu tersebut ada dua orang dengan senyuman ramah membukakan pintu bagi orang-orang yang ingin melewatinya. Alangkah indahnya suasana kantor ini, di mana orang-orang yang masuk dan keluar selalu disambut dengan senyuman penuh keceriaan dan kehangatan. Benar-benar suatu bentuk sentuhan manusiawi yang menghidupkan.

Ah sudah lah, mungkin hal ini hanyalah khayalan ku saja. Toh andaikan ide ini disampaikan pada pimpinan dan dewan direksi pastilah mereka akan serta merta menolaknya dengan dalih efisiensi tenaga kerja.

Tapi ngomong-ngomong tentang efisiensi, mulai timbul pertanyaan dalam benakku. Apakah akan efisien bila karyawan bekerja tanpa adanya keceriaan dalam dirinya? Apakah memang benar-benar tidak efisien bila manambahkan beberapa personil yang memfokuskan diri pada tanggung jawab yang menjamin keceriaan seluruh staff dalam melakukan aktifitas pekerjaan mereka?

Ah sudahlah. Lagi pula ini khan hanyalah sebuah ide yang keluar dari benak seorang gila yang kian hari kian menikmati kegilaannya.

Waktu pun terus berjalan. Setidaknya aku masih perlu menunggu sekitar 1 jam 15 menit lagi.

Untunglah saat ini aku ditemani oleh sebuah karya sastra apik berjudul ”Gunung Jiwa”. Sebuah karya yang digarap selama 7 tahun dan yang pada akhirnya mampu mengantarkan penulisnya untuk meraih nobel sastra pada tahun 2000.

Banyak orang mengakui bahwa membaca adalah cara yang cerdas untuk membunuh waktu. Tapi kali ini aku cenderung berpendapat bahwa menulis adalah cara yang efektif dan kreatif untuk memanfaatkan waktu yang ada. Bagiku menulis adalah sebuah aktifitas yang sangat menyenangkan. Suatu bentuk pengekspresian dan aktualisasi diri. ”Writing and Being”