Blessing in Disguise

|

Rabu, 6 Juli 2005

Babak satu:

Lagi-lagi aku harus mengalami saat-saat menyebalkan seperti ini. Aku sedang menunggu jemputan travel. Kali ini tidak tanggung-tanggung telatnya. Bayangkan saja, aku sudah menunggu sejak pukul 3:15 pm tapi taravel yang dijadwalkan akan menjemputku pada pukul 3:30 pm, sampai detik ini belum juga muncul. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 5:45 pm. Jumlah waktu yang setara dengan perjalanan yang ingin aku tempuh ke Sala Tiga, dua setengah jam.

Sebenarnya siang tadi sempat terpikirkan dalam benakku untuk menulis tetang suatu topik, tapi sialnya saat ini ketika aku ingin menuliskannya –sebagai upaya untuk membunuh kebosananku– tiba-tiba saja topik itu hilang serasa menguap, hilang entah ke mana. Aku tak dapat lagi mengingatnya. Mungkin kapasitas memory otakku perlu ditambah. Rasa-rasanya jumlah data yang berseliweran di otakku makin semerawut dan tumpang tindih.

Ah sial, di saat-saat seperti ini rupanya penaku pun tidak bisa diajak kompromi. Tulisan tanganku mulai terlihat putus-putus seperti sandi morse saja. Sebentar, biar aku hentak-hentakkan dulu penaku siapa tahu bisa menurunkan tinta yang ada di dalamnya dan mendorong keluar sisa-sisa tinta kering penyebab kemacetan.

Akhirnya setelah dilakukan beberapa kali hentakkan keras pada penaku, aku bisa melanjutkan kembali tulisanku.

Yang namanya sebuah tulisan tentunya membutuhkan sebuah topik atau tema, lantas topik apa yang sebaiknya aku tulis?

Di hadapanku saat ini terbentang sebuah pagar terbuat dari besi dan dicat dengan warna coklat muda. Lantas apa lagi yang bisa aku tulis tentang pagar ini?

Rasanya untuk saat ini otakku pun sedang tidak bisa diajak kompromi untuk memproduksi ide. Ya, sudahlah mungkin sebaiknya aku lanjutkan saja dengan membaca buku.

Akhirnya, setelah menunggu selama tiga jam, aku dijemput juga.

Babak dua:

Benar-benar hari yang menguji kesabaranku. Baru 30 menit perjalan ke Sala Tiga, tiba-tiba saja sopir travel memutuskan untuk menunda perjalanan. Ini disebabkan wipper mobil yang macet. Maklumlah kondisi saat ini sedang hujan lebat dan memang cukup beresiko untuk melanjutkan perjalanan menggunakan mobil dengan wipper yang ngadat. Travel pun terpaksa singgah di bengkel untu beberapa waktu.

Lagi-lagi aku harus kembali menunggu. Sebuah aktifitas –kalau memang layak untuk disebut sebagai aktifitas – yang sangat membosankan.

Ya ampun, ternyata proses reparasi wiper kali ini memakan waktu yang menurutku sudah di luar batas kewajaran. Bayangakn saja, hanya untuk mereparasi wiper membutuhkan waktu sampai tiga jam. Kalau begini sich bukan ”menguji” kesabaranku, tapi lebih tepat bila diartikan sebagai ”menantang” kesabaranku.

Ya apa mau dikata, toh aku sendiri tidak bisa membantu memperbaiki wipernya.

Akhirnya baru pada pukul 9:00 pm sopir memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Aku lalu mengirim SMS ke temanku, memberitahukan bahwa aku akan tiba di Sala Tiga jauh dari jadwal yang semula direncanakan.

Babak tiga:

Akhirnya aku pun sampai juga di Sala Tiga. Waktu menunjukkan tepat pukul 11:00 pm. Waktu yang cukup larut. Aku pun mencoba untuk mengirimkan SMS ke temanku untuk memberitahukan bahwa aku sudah sampai di Sala Tiga dan meminta dia menjemputku. Maklum saja ini adalah kali pertama aku ke Sala Tiga. Setelah menunggu beberapa waktu, jawaban atas SMS ku belum juga sampai. Aku pun mulai khawatir, jangan-jangan temanku sudah tertidur karena kemalaman menunggu kedatanganku. Tidakk....... aku benar-benar terdampar di kota yang asing.

Setelah mengantarkan beberapa penumpang yang lain, sopir travel pun akhirnya menanyakan padaku lokasi di mana aku ingin diturunkan.

Aku pun mulai gelisah. Harus aku jawab apa? Aku mau turun di mana? Tempat dan daerah apa yang aku tahu ada di Sala Tiga?

Satu-satunya nama tempat yang aku tahu dari Sala Tiga hanyalah Universitas Satya Wacana. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun langsung menjawab ”Pak, Satya Wacana khan memiliki wisma. Kalu begitu tolong saya diturunkan di wisma Satya Wacana saja” . He3... padahal aku sendiri tidak yakin kalau Satya Wacana memiliki wisma.

Wah3.. ternyata jawabanku yang asal ceplos itu diresponi dengan serius oleh si sopir. Dan memang ternyata Satya Wacana benar-benar memiliki wisma.

Aku pun diantar sampai memasuki sebuah kompleks yang dipenuhi dengan pepohonan dan bangunan-bangunan tua yang besar dan kokoh. Tapi memang aku tidak bisa melihat dengan jelas, maklum saja kondisi saat itu cukup gelap san hujan pun cukup lebat.

Setelah diturunkan di kompleks itu, mobil pun meninggalkanku sendiri.

Lantas di mana wismanya? Di mana letak pintu utama yang bisa aku ketok?

Di mana resepsionisnya? Di mana orang-orang?

Ah tidakk..... Kompleks ini terasa sangat luas dalam suasana malam yang kelam ini.

Tidak ada seorang pun yang bisa aku temui di kompleks ini. Bahkan aku pun tidak bisa menemukan seorang satpam di sini.

Setelah mencoba berkeliling-keliling, akhirnya aku pun mengetahui bahwa kompleks banugnan ini merupakan kompleks Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing (STIBA) Satya Wacana. Lantas di mana wismanya?

SMS yang aku kirimkan pada temanku pun belum juga terjawab. Kini aku menjadi semakin yakin kalau dia memang sudah tertidur.

Setelah berkeliling, aku pun mulai menyadari bahwa aku harus menerima kenyataan untuk berehat dan melewatkan malam di kompleks ini, di kota yang asing ini. Setelah mencari tempat yang kiranya cukup nyaman, aku pun memutuskan utuk beristirahat dan tidur di depan sebuah perpustakaan. Bayangkan, aku harus tidur di alam terbuka. Ruangan yang aku temui semuanya terkunci rapat. Tidak ada satu pun yang bisa aku masuki.

Dinginnya malam yang diperkuat dengan hujan yang lebat semakin terasa menusuk ke dalam tulang-tulangku.

Kalau aku harus melewatkan malam dengan keadaan seperti ini bisa-bisa aku terserang demam. Aku harus mencari tempat bermalam yang lebih hangat.

Aku pun mulai mengumpulkan keberanianku untuk menjelajah lebih jauh ke dalam kompleks ini. Setelah beberapa waktu aku mencari, akhirnya aku menemukan sebuah ruangan yang tak terkunci. Ruangnya cukup luas. Setelah lampu ruangan aku nyalakan, aku akhirnya dapat mengenali ruang itu sebagai ruang administrasi. Ya sebuah ruang yang kemungkinan digunakan oleh mahasiswa di sini untuk mengurus keperluan administrasi mereka. Ruangnya lumayan besar. Ada dua buah sofa di sana. Aku pun memilih sofa yang paling hangat dan paling lembut untuk aku jadikan tempat tidur. Wah ternyata di sini juga ada KOMPAS edisi hari ini. Lumayan juga untuk dijadikan bacaan menemani rehatku di ruang dan kota yang asing ini.

Hhhmm... mungkin inilah yang dinamakan sebagai ”Blessing in Disguise”. Sebuah berkat yang tersembunyi. Sebuah berkat yang hanya bisa kita terima dan rasakan bila kita bersedia untuk rehat dan diam beberapa saat untuk mengucap syukur atas apa yang baru saja kita alami. Benar-benar suatu bentuk kehidupan yang indah ya :)