Tidakkkk….

|

Minggu, 31 Juli 2005

Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh dari Jogja ke Bandung, aku tetap saja belum berkesempatan untuk bertemu dengan sahabatku Listya.

Tiidddaakkk…….

Benar-benar belum berjodoh untuk bertemu.

Beberapa waktu sebelumnya, Listya sempat berencana untuk menemuiku juga ketika dia sedang dalam perjalanan ke Bali. Kebetulan rute perjalanannya melewati Jogja.

Tapi waktu itu pun kami belum bisa bertemu.

Suatu bentuk persahabatan yang unik.

Kami hanya bertemu di dunia maya.

Komunikasi yang kami jalin berbasis teks.

Minggu depan aku berencana untuk kembali ke Bandung.

Semoga saja kita bisa bertemu.

AMSTERDAM by Coldplay

|

Sabtu, 23 July 2005

Senang rasanya bila dalam hidup ini kita bisa menemukan sorang teman atau bahkan seorang sahabat yang bisa kita jadikan rekan untuk berdiskusi dan bertukar pikiran, apalagi bila bisa bertukar karya.

Listya Nurina adalah seorang sahabat bagiku. Seorang sahabat yang unik, seorang sahabat yang bahkan sampai detik ini belum pernah berkesempatan untuk bersua dan bertatap muka langsung. Seorang sahabat dalam dunia maya.

Di mataku, Listya adalah seorang filsuf sekaligus seniman.

Seorang filsuf yang memiliki kebebasan dan kekritisan dalam berpikir.

Dan juga seorang seniman yang selalu ingin merekam dan memberi makna pada setiap jengkal kehidupannya.

Berikut ini adalah salah satu karyanya yang cukup menarik perhatianku.

Benar-benar sebuah goresan tangan yang indah dalam memaknai sebuah waktu.

Sebuah refleksi tentang ruas-ruas kehidupan.

Sebuah tulisan yang cukup kental diwarnai oleh nuansa dari sebuah karya berjudul ”Einstein’s Dreams”. Buah karya seorang Alan Lightman.

Lis, aku benar-benar menyukai gaya tulisanmu.

AMSTERDAM by Coldplay

Rehat...rest...istirahat...idle...
kayanya lebih cocok kalo sekarang g lagi di dalam status idle.
Pikiran g melayang jauh terlalu ke depan.
Apa yang tidak pernah terbayang sebelumnya, tiba-tiba out of control fly inside my mind.
Yang g rasakan adalah ketakutan untuk berjalan bersama relevansi waktu, yang selalu disinggung secara detail dalam buku "mimpi-mimpi einstein"
Andai waktu tidak bergulir...andai waktu seperti mimpi yang tak berujung, andai waktu seperti seorang Sukma Ayu yang sedang koma...dan akhirnya hancur bersama kedalaman tak berujung...
Kemudian mimpi sempurna itu tidak usah dibangunkan..

Idle..bukan berarti g mau terus terombang-ambing ke dalam ketidakmenauan.
Ada banyak hal yang dapat diperjuangkan ketika being idle.
Mungkin untuk mendewasakan seseorang selama melewati waktu tersebut.
Seseorang yang harus saling menahan hasrat dan perasaan, menahan untuk menepis kemunafikan di kedalaman sanubari hati.
Perasaan tetap merahasiakan suatu rahasia...

Idle adalah waktu untuk beristirahat sejenak.
REhat adalah waktu yang tepat sambil menikmati secangkir kopi.
Tetapi bukan berarti berhenti untuk membuka hati lebih dalam , bukan berarti mencari pelarian lain, bukan berarti merapuhkan keadaan yang telah ada.

Idle...diam sesaat..
Kemudian berpikir untuk menjadi dewasa...
Untuk tidak pernah menjadi egois...
Untuk menjadi seseorang yang berarti bagi seseorang yang lain.
Untuk menemukan seseorang yang lain berarti bagi seseorang.

Hari...
adalah waktu untuk merasakan IDLE
Menit dan detik menjadi hari untuk memberi arti kepada seseorang.

Anak-Anak

|

Sabtu, 23 July 2005

Di siang hari yang cerah ini terdengar suara gelak tawa kanak-kanak yang
sedang bermain di sekitar rumah kontrakanku.
Anak-anak yang penuh dengan keceriaan dan kepolosan.
Anak-anak yang biasanya hanya bermain di luar halaman rumah, kali ini mulai memberanikan diri
untuk melewati pagar dan memasuki halaman.
Rupa-rupanya mereka ingin mengambil biji-bijian dari pohon yang ada di halaman rumah.
Entah apa nama pohonnya, yang kutahu pohon itu menghasilkan biji-bijian berwarna merah.
Warna yang memang cukup menarik perhatian bagi seorang anak.
Mereka mulai mengumpulkan biji-bijian itu dengan penuh keceriann.
Sesekali juga diiringi jeritan-jeritan dan gelak tawa sebagai wujud ekspresi kegembiraan mereka.
Benar-benar suatu bentuk kehidupan yang indah.
Indah, ceria, dan polos walau terkesan agak brutal bila tidak diberi suatu pengarahan dan pengajaran.
Wah... sekarang mulai terdengar suara tangis dari seorang anak.
Suara tangis yang cukup keras.
Sebuah tangis yang menghasilkan butir air mata sebagai tanda ketidaknyamanan.
Seringkali juga digunakan sebagai tanda ketidaksetujuan.
Sebuah bentuk ekspresi yang sangat sederhana.
Selang beberapa detik saja, tangis itu sudah berubah kembali jadi tawa dan canda.
Wah... benar-benar luar biasa sekali.
Benar-benar pola perilaku berekpresi yang indah.
Rasa-rasanya, dulu aku pun pernah mengalami fase semacam ini.
Tapi ke manakah sekarang tangis dan tawaku?
Saat ini aku memang masih memiliki tawa, tapi bukan tawa seperti mereka.
Saat ini pun aku masih memiliki tangis, tapi bukan tangis seperti mereka.
Tangis dan tawa ekspresif dan lepas yang memberi warna pada hari-hariku.

Blessing in Disguise

|

Rabu, 6 Juli 2005

Babak satu:

Lagi-lagi aku harus mengalami saat-saat menyebalkan seperti ini. Aku sedang menunggu jemputan travel. Kali ini tidak tanggung-tanggung telatnya. Bayangkan saja, aku sudah menunggu sejak pukul 3:15 pm tapi taravel yang dijadwalkan akan menjemputku pada pukul 3:30 pm, sampai detik ini belum juga muncul. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 5:45 pm. Jumlah waktu yang setara dengan perjalanan yang ingin aku tempuh ke Sala Tiga, dua setengah jam.

Sebenarnya siang tadi sempat terpikirkan dalam benakku untuk menulis tetang suatu topik, tapi sialnya saat ini ketika aku ingin menuliskannya –sebagai upaya untuk membunuh kebosananku– tiba-tiba saja topik itu hilang serasa menguap, hilang entah ke mana. Aku tak dapat lagi mengingatnya. Mungkin kapasitas memory otakku perlu ditambah. Rasa-rasanya jumlah data yang berseliweran di otakku makin semerawut dan tumpang tindih.

Ah sial, di saat-saat seperti ini rupanya penaku pun tidak bisa diajak kompromi. Tulisan tanganku mulai terlihat putus-putus seperti sandi morse saja. Sebentar, biar aku hentak-hentakkan dulu penaku siapa tahu bisa menurunkan tinta yang ada di dalamnya dan mendorong keluar sisa-sisa tinta kering penyebab kemacetan.

Akhirnya setelah dilakukan beberapa kali hentakkan keras pada penaku, aku bisa melanjutkan kembali tulisanku.

Yang namanya sebuah tulisan tentunya membutuhkan sebuah topik atau tema, lantas topik apa yang sebaiknya aku tulis?

Di hadapanku saat ini terbentang sebuah pagar terbuat dari besi dan dicat dengan warna coklat muda. Lantas apa lagi yang bisa aku tulis tentang pagar ini?

Rasanya untuk saat ini otakku pun sedang tidak bisa diajak kompromi untuk memproduksi ide. Ya, sudahlah mungkin sebaiknya aku lanjutkan saja dengan membaca buku.

Akhirnya, setelah menunggu selama tiga jam, aku dijemput juga.

Babak dua:

Benar-benar hari yang menguji kesabaranku. Baru 30 menit perjalan ke Sala Tiga, tiba-tiba saja sopir travel memutuskan untuk menunda perjalanan. Ini disebabkan wipper mobil yang macet. Maklumlah kondisi saat ini sedang hujan lebat dan memang cukup beresiko untuk melanjutkan perjalanan menggunakan mobil dengan wipper yang ngadat. Travel pun terpaksa singgah di bengkel untu beberapa waktu.

Lagi-lagi aku harus kembali menunggu. Sebuah aktifitas –kalau memang layak untuk disebut sebagai aktifitas – yang sangat membosankan.

Ya ampun, ternyata proses reparasi wiper kali ini memakan waktu yang menurutku sudah di luar batas kewajaran. Bayangakn saja, hanya untuk mereparasi wiper membutuhkan waktu sampai tiga jam. Kalau begini sich bukan ”menguji” kesabaranku, tapi lebih tepat bila diartikan sebagai ”menantang” kesabaranku.

Ya apa mau dikata, toh aku sendiri tidak bisa membantu memperbaiki wipernya.

Akhirnya baru pada pukul 9:00 pm sopir memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Aku lalu mengirim SMS ke temanku, memberitahukan bahwa aku akan tiba di Sala Tiga jauh dari jadwal yang semula direncanakan.

Babak tiga:

Akhirnya aku pun sampai juga di Sala Tiga. Waktu menunjukkan tepat pukul 11:00 pm. Waktu yang cukup larut. Aku pun mencoba untuk mengirimkan SMS ke temanku untuk memberitahukan bahwa aku sudah sampai di Sala Tiga dan meminta dia menjemputku. Maklum saja ini adalah kali pertama aku ke Sala Tiga. Setelah menunggu beberapa waktu, jawaban atas SMS ku belum juga sampai. Aku pun mulai khawatir, jangan-jangan temanku sudah tertidur karena kemalaman menunggu kedatanganku. Tidakk....... aku benar-benar terdampar di kota yang asing.

Setelah mengantarkan beberapa penumpang yang lain, sopir travel pun akhirnya menanyakan padaku lokasi di mana aku ingin diturunkan.

Aku pun mulai gelisah. Harus aku jawab apa? Aku mau turun di mana? Tempat dan daerah apa yang aku tahu ada di Sala Tiga?

Satu-satunya nama tempat yang aku tahu dari Sala Tiga hanyalah Universitas Satya Wacana. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun langsung menjawab ”Pak, Satya Wacana khan memiliki wisma. Kalu begitu tolong saya diturunkan di wisma Satya Wacana saja” . He3... padahal aku sendiri tidak yakin kalau Satya Wacana memiliki wisma.

Wah3.. ternyata jawabanku yang asal ceplos itu diresponi dengan serius oleh si sopir. Dan memang ternyata Satya Wacana benar-benar memiliki wisma.

Aku pun diantar sampai memasuki sebuah kompleks yang dipenuhi dengan pepohonan dan bangunan-bangunan tua yang besar dan kokoh. Tapi memang aku tidak bisa melihat dengan jelas, maklum saja kondisi saat itu cukup gelap san hujan pun cukup lebat.

Setelah diturunkan di kompleks itu, mobil pun meninggalkanku sendiri.

Lantas di mana wismanya? Di mana letak pintu utama yang bisa aku ketok?

Di mana resepsionisnya? Di mana orang-orang?

Ah tidakk..... Kompleks ini terasa sangat luas dalam suasana malam yang kelam ini.

Tidak ada seorang pun yang bisa aku temui di kompleks ini. Bahkan aku pun tidak bisa menemukan seorang satpam di sini.

Setelah mencoba berkeliling-keliling, akhirnya aku pun mengetahui bahwa kompleks banugnan ini merupakan kompleks Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing (STIBA) Satya Wacana. Lantas di mana wismanya?

SMS yang aku kirimkan pada temanku pun belum juga terjawab. Kini aku menjadi semakin yakin kalau dia memang sudah tertidur.

Setelah berkeliling, aku pun mulai menyadari bahwa aku harus menerima kenyataan untuk berehat dan melewatkan malam di kompleks ini, di kota yang asing ini. Setelah mencari tempat yang kiranya cukup nyaman, aku pun memutuskan utuk beristirahat dan tidur di depan sebuah perpustakaan. Bayangkan, aku harus tidur di alam terbuka. Ruangan yang aku temui semuanya terkunci rapat. Tidak ada satu pun yang bisa aku masuki.

Dinginnya malam yang diperkuat dengan hujan yang lebat semakin terasa menusuk ke dalam tulang-tulangku.

Kalau aku harus melewatkan malam dengan keadaan seperti ini bisa-bisa aku terserang demam. Aku harus mencari tempat bermalam yang lebih hangat.

Aku pun mulai mengumpulkan keberanianku untuk menjelajah lebih jauh ke dalam kompleks ini. Setelah beberapa waktu aku mencari, akhirnya aku menemukan sebuah ruangan yang tak terkunci. Ruangnya cukup luas. Setelah lampu ruangan aku nyalakan, aku akhirnya dapat mengenali ruang itu sebagai ruang administrasi. Ya sebuah ruang yang kemungkinan digunakan oleh mahasiswa di sini untuk mengurus keperluan administrasi mereka. Ruangnya lumayan besar. Ada dua buah sofa di sana. Aku pun memilih sofa yang paling hangat dan paling lembut untuk aku jadikan tempat tidur. Wah ternyata di sini juga ada KOMPAS edisi hari ini. Lumayan juga untuk dijadikan bacaan menemani rehatku di ruang dan kota yang asing ini.

Hhhmm... mungkin inilah yang dinamakan sebagai ”Blessing in Disguise”. Sebuah berkat yang tersembunyi. Sebuah berkat yang hanya bisa kita terima dan rasakan bila kita bersedia untuk rehat dan diam beberapa saat untuk mengucap syukur atas apa yang baru saja kita alami. Benar-benar suatu bentuk kehidupan yang indah ya :)