Refleksi Seorang Nelayan

|

Ada seorang pengusaha muda dan kaya bernama Pak Anton.
Suatu hari beliau bertemu dengan seorang nelayan
yang sedang santainya memancing ikan di tepi sungai.
Seperti biasanya, insting bisnis Pak Anton mulai
bekerja.
Dia pun menegur si nelayan itu.

"Waduh pak, kok mencari ikannya menggunakan
pancing kecil? Khan lama dapetnya."

"Lantas sebaiknya bagaimana?" Tanya si nelayan.

"Sebaiknya bapak menggunakan jaring besar biar
bisa mendapatkan banyak ikan."

"Lantas ikan yang banyak itu untuk apa?" Tanya si
nelayan lagi.

"Wah bapak ini lugu banget sich, ya jelas saja
untuk membeli kapal agar bisa mendapat ikan lebih
banyak lagi." Jawab Pak Anton agak kesal.

"Terus itu semua untuk apa?" Tanya si nelayan bingung.

"Ya jelas saja dengan menggunakan kapal maka ikan
yang didapat bisa lebih banyak. Otomatis uang yang
didapat dari penjualan ikan juga meningkat.Uangnya
bisa bapak pakai untuk beli kapal yang lebih
gede." Jawab Pak Anton setengah marah.

"Terus untuk apa kapal gede itu?" Tanya si nelayan
semakin kebingungan.

"Ya jelas saja untuk mendapat lebih banyak uang."
Jawab Pak Anton membentak.

"Lantas uang yang banyak itu untuk apa?" Tanya si
nelayan semakin bingung.

"Ya jelas saja untuk bisa menikmati hidup dengan
lebih santai, Bapak ini lugu atau bego sich?"
Bentak Pak Anton

"Memangnya saat ini saya sedang tidak menikmati
hidup? Bukankah saat ini juga saya sedang
bersantai?" Tanya si nelayan balik.

nb:
Tulisan ini bukanlah karya orisinil seorang Boedy, melainkan hasil tulis ulang dari sebuah karya yang sempat saya baca.
Hanya saja saya lupa sumber orisinilnya.

Kekeliruanku Tentang Waria

|

Minggu, 8 Mei 2005

Dua hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 6 Mei 2005 digelar suatu acara yang sangat menarik di toko buku Gramedia Jogja. Acaranya berupa launching dan bedah buku yang menghadirkan tiga orang penulis yang ketiganya mengangkat topik tentang waria. Yang membuat acara ini lebih menarik adalah, ternyata dua dari tiga penulis yang dihadirkan adalah seorang waria.
Wah menarik sekali….
Mereka sangat terbuka dan yang membuat aku cukup terkejut adalah ternyata mereka juga sangat terpelajar.
Pemaparan yang mereka sampaikan sangat runtut dan sistematis seperti layaknya orang yang berpendidikan tinggi.
Waria pertama bernama Merlyn Sopjan. Beliau adalah seorang sarjana Teknik Sipil lulusan Universitas Teknologi Nasional Malang. Beliau juga menjabat sebagai ketua Ikatan Waria Malang (IWAMI) dan dianugerahi gelar Doktor HC dari Northern California Global University karena aktivitas sosialnya dalam bidang HIV/ AIDS. Luar biasa khan???
Waria kedua bernama Shuniyya. Beliau adalah seorang sarjana dengan predikat lulusan terbaik dari jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM tahun 2004. Beliau lulus Cum Laude dengan IPK 3,56 dan hanya menempuh masa kuliah 3 tahun 2 bulan.
Benar-benar patut diacungi jempol.
Dalam kesempatan kali ini, mereka mencoba untuk membagi pengalaman dan perasaan yang mereka alami sebagai seorang waria. Dari pemaparan mereka aku menangkap suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya seorang waria adalah seorang wanita yang terjebak dalam tubuh pria.
Sejak dilahirkan, mereka tidak pernah merasa diri mereka sebagai seorang pria walaupun secara fisik mereka memiliki bentuk tubuh layaknya seorang pria.
Benar-benar suatu beban yang luar biasa beratnya yang harus mereka tangung dalam kehidupan mereka. Aku sendiri sempat membayangkan bila seandainya aku dilahirkan dengan mindset seorang pria tapi dengan tubuh seorang wanita. Mengerikan sekali..... Dan rasa-rasanya aku tidak akan mampu menaggungnya.
Pada waktu masih kanak-kanak dan remaja, mereka memang dipaksa oleh orang tua mereka untuk mengenakan busana dan berkelakuan seperti layaknya seorang pria.
Alasannya cukup klise, demi menjaga nama baik keluarga.
Benar-benar suatu penderitaan batin yang luar biasa berat.
Mereka juga dicap oleh masyarakat sebagai kaum yang meresahkan masyarakat. Mereka selalu saja diidentikkan dengan kejahatan, alat pemuas sex, pengamen jalanan. Peluang kerja yang agak lumayan yang bisa mereka masuki mungkin sebagai penata rambut dan busana atau sebagai pelawak yang kehadirannya hanya untuk diolok-olok oleh para penontonnya.
Tapi perlu diingat, tidak semua waria memiliki bakat di bidang tata rambut dan tata busana, apalagi bakat menjadi seorang pelawak.
Waria memang dikondisikan untuk jadi seperti itu. Itu semu karena sikap penolakan dari masyarakat. Bayangkan saja, bahkan untuk menjadi seorang ”babu” yang tidak menuntut banyak keahlian saja rasa-rasanya masih sulit. Belum banyak keluarga yang mau menerima waria sebagai pembantu rumah tangga di rumah mereka.
Mereka terpaksa turun ke jalan menjadi pekerja sex hanya semata karena tuntutan kebutuhan untuk bisa tetap bertahan hidup. Itu bukan karena hasrat seksual dan keingginan mereka untuk having fun. Kalau hanya mengejar nafsu, toh mereka pun tidak akan menarik bayaran. Nyatanya para waria yang turun ke jalan sebagai pekerja sex hampir seluruhnya menarik bayaran.
Kalau seandainya mereka bisa memilih, toh mereka pun tak ada yang memilih untuk dilahirkan sebagai waria. Mereka pasti akan memilih untuk dilahirkan sebagai seorang wanita yang sempurnya.
Jujur saja, setelah mengikti acara ini aku jadi merasa malu dan bersalah karena persepsiku yang keliru selama ini dalam memandang waria.
Mereka juga manusia, sama seperti kita.
Mereka juga rindu untuk selalu dapat mencintai dan dicintai.
Kebetulan semalam aku baru saja menyelesaikan membaca buku yang ditulis oleh Merlyn, makanya sedikit banyak aku jadi bisa merasakan apa yang dirasakan oleh seorang waria.
Sudah saatnya memang bagi masyarakat kita untuk bisa menempatkan waria sebagaimana mestinya.
Bukankah nilai manusia dilihat dari kemampuan dan karya yang dia hasilkan dan bukannya dari kesempurnaan alat kelamin yang dimilikinya?
Manusia berpikir dengan otak dan bukan dengan alat kelamin.
Manusia juga merasa dengan hati dan bukan dengan alat kelaminnya.
Bukankah waria juga memiliki otak –pikiran – dan hati layaknya manusia ”normal” lainnya?
Lantas apa lagi yang membuat kita membatasi ruang gerak mereka?
Apakah masalah kesempurnaan alat kelamin sangat esensial bagi seseorang dalam berkarya dalam hidupnya?